Startup keamanan siber asal Israel, Wiz, memutuskan untuk tidak mengambil investasidari Google yang nilainya dilaporkan mencapai US$23 miliar (Rp 373 triliun).
Jika kesepakatan itu terjadi, maka akan menjadi akuisisi terbesar yang pernah dilakukan raksasa teknologi AS tersebut, menurut memo Wiz yang dilihat oleh Reuters, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2024).
CEO Wiz Assaf Rappaport mengatakan perusahaan sekarang akan fokus pada penawaran umum perdana, seperti yang telah direncanakan sebelumnya, dan bertujuan untuk mencapai pendapatan berulang tahunan sebesar US$1 miliar (Rp 16 triliun).
“Mengatakan tidak pada tawaran seperti itu sulit, tetapi setelah diskusi panjang dengan tim kami yang luar biasa, saya merasa yakin dalam membuat pilihan itu,” kata Rappaport dalam memo tersebut.
Baik Alphabet, sebagai induk Google, maupun Wiz belum secara resmi mengakui adanya pembicaraan kesepakatan.
Dalam memo yang ditinggalkan, Wiz tidak menyebutkan nama Google atau Alphabet. Google tidak segera menanggapi permintaan komentar Reuters, sedangkan Wiz menolak berkomentar.
Reuters melaporkan awal bulan ini bahwa Alphabet tengah mengadakan pembicaraan lanjutan untuk membeli Wiz dengan nilai sekitar US$23 miliar, mengutip seseorang yang mengetahui masalah tersebut.
Nilai akuisisi tersebut hampir dua kali lipat dari apa yang diumumkan Wiz pada bulan Mei, ketika mengumpulkan US$1 miliar dalam putaran pendanaan swasta pada penilaian US$12 miliar.
Wiz merupakan startup yang menyediakan solusi keamanan siber berbasis cloud untuk membantu perusahaan mengidentifikasi dan menghilangkan risiko pada platform cloud dengan dukungan kecerdasan buatan (AI).
Keputusan Wiz untuk membatalkan kesepakatan akan menjadi kemunduran bagi Google, yang telah berinvestasi dalam infrastruktur cloud-nya dan berfokus pada memenangkan klien untuk bisnis cloud yang berhasil menghasilkan pendapatan lebih dari US$33 miliar tahun lalu.
Gangguan siber global minggu lalu yang disebabkan oleh pembaruan yang salah dari perusahaan keamanan siber CrowdStrike, merupakan salah satu alasan utama gagalnya pembicaraan kesepakatan, demikian menurut laporan Bloomberg News.