
Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul-Gheit pada Selasa (2/9) menyerukan semua pihak di Libya barat melakukan deeskalasi dan menyelesaikan berbagai perbedaan melalui dialog, seraya menekankan bahwa penggunaan kekerasan hanya akan memperdalam perpecahan.
Dalam sebuah pernyataan, dia mengaku sangat khawatir atas meningkatnya ketegangan di Libya barat, terutama mengenai mobilisasi pasukan militer di dekat ibu kota, Tripoli. Aboul-Gheit menekankan Liga Arab memantau situasi dengan saksama, seraya menambahkan bahwa eskalasi dapat membuat negara itu berisiko kembali terjerumus ke dalam siklus konflik.
Sekjen Liga Arab itu mendesak semua pihak untuk terlibat secara serius dalam jalur negosiasi, seraya menegaskan kesiapan Liga Arab untuk terus mempromosikan dialog intra-Libya bekerja sama dengan sejumlah mitra regional dan internasional.
Pernyataan tersebut disampaikan di tengah meningkatnya ketegangan keamanan di sekitar Tripoli sejak pekan lalu, ketika bentrokan kecil dilaporkan meletus di beberapa lokasi di ibu kota Libya itu. Bentrokan mengakibatkan peningkatan kekuatan militer di dekat kota itu.
Pada Selasa yang sama, Misi Dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Libya mengatakan mereka “sangat khawatir dengan laporan ketegangan yang meningkat dengan cepat dan mobilisasi militer, yang dapat menyebabkan konfrontasi bersenjata”.
Tripoli belum lama ini dilanda aksi kekerasan berulang, termasuk bentrokan besar pada pertengahan Mei 2025 antara pasukan yang loyal kepada Pemerintah Persatuan Nasional (Government of National Unity/GNU) yang diakui PBB dan Aparat Pendukung Stabilitas (Stability Support Apparatus/SSA), faksi bersenjata berat yang berpengaruh di Tripoli.
Libya masih terpecah sejak pemberontakan yang didukung NATO pada 2011 menggulingkan rezim pemimpin lama Muammar Gaddafi. Negara itu terpecah menjadi dua pemerintahan yang saling bersaing, yaitu GNU di Tripoli dan pemerintah di Libya timur yang didukung Tentara Nasional Libya pimpinan Khalifa Haftar.